Dobel Aplaus di Aksi Panggungku
Meski cerita ini terjadi berpuluh tahun silam, tapi detil kejadiannya hingga kini masih membekas dalam memori saya. Kisah ini terjadi ketika saya masih di bangku TK. Tepatnya di acara panggung acara perpisahan siswa.
Seperti yang kita ketahui, hampir di tiap sekolah menggelar semacam prosesi untuk merayakan kelulusan siswanya. Prosesi itu biasanya berupa panggung hiburan. Diisi oleh para siswa itu sendiri, dengan menyuguhkan berbagai atraksi macam paduan suara, menyanyi ataupun seni tari. Demikian halnya dengan sekolah saya, menggelar acara serupa. Dan kebetulan saya pun mendapat jatah untuk mengisi acara perpisahan di sekolah saya. Deklamasi, itulah atraksi yang akan saya perani. Sebagai kenangan untuk sekolah yang sebentar lagi akan saya tinggalkan.
Saya sudah tak mampu lagi mengingat isi dari puisi tersebut. Seingat saya tema dari puisi itu tentang perjuangan Pangeran Diponegoro. Puisi itu dibuat olehibu Ning, yang beliau diktekan setiap hari agar saya bisa hafal isinya. Selebihnya saya hanya ingat jika Ning juga sudah menyiapkan properti berupa kostum ala Pangeran Diponegoro lengkap dengan sorbannya. Ya.ya.ya sorban, itulah kostum yang paling saya ingat hingga sekarang.
Mendekati hari H, Ning makin intensif saja melatih saya. Membaca deklamasi sambil berdiri di atas kasur, itulah latihan yang harus saya lakukan sebelum tidur. Berulang-ulang kegiatan itu dilakukan, hingga isi puisi itu bisa saya hafal di luar kepala. Agar deklamasi saya terlihat meyakinkan, Ning mengajari saya tentang penekanan kalimat pada puisi yang saya baca. Beliau juga mengajari tentang mimik dan gerak-gerik saya saat di panggung. Tentang kapan saya harus mengepalkan tangan saat kalimat puisi menceritakan semangat perjuangan. Tentang kapan saya harus mengacungkan jari lurus ke depan saat kalimat saya berisi peringatan. Tak lupa pula Ning mengajari saya semacam kode penghormatan dengan cara menganggukan badan pada khalayak yang ada di depan.
Tibalah waktunya untuk menunjukkan dari hasil latihan berhari-hari. Bocah mungil itu nampak menaiki panggung saat namanya dipanggil pembawa acara. Begitu percaya diri berdiri di depan mikropon, lengkap dengan kostum plus sorban ala Diponegoro-nya.
Ada yang bilang langkah awal di panggung itu menentukan sempurna tidaknya penampilan kita di depan. Kesalahan di awal bisa jadi akan membuat rusak aksi panggung kita setelahnya. Alhamdulillah, ternyata saya bisa lewati fase awal aksi panggung tersebut dengan sempurna. Uluk salam saya berbalas riuh ramai sorak penonton yang ada. Seakan memberi suntikan semangat untuk melalap ludes isi puisi di depan mereka.
Saat saya menampilkan bahasa tubuh dengan mengepalkan tangan, penonton pun membalasnya dengan tepukan tangan. Pun demikian ketika saya mengacungkan jari, para penonton ikut mengamini dengan sorak sorai yang menjadi-jadi. Malam itu seakan saya menjadi seorang bintang pentas yang bisa menghibur penontonnya dengan puas.
Hingga akhirnya....
Sesuai skenario deklamasi itu harus saya sudahi dengan aksi apresiasi kepada para penonton. Dengan memberikan anggukan badan sebagai imbal balik atas aplaus yang mereka berikan. Tapi sayang, sebuah insiden kemudian terjadi saudara-saudara. Sebuah insiden yang membuat aksi panggung saya menjadi tidak sempurna.
Saya sudah dilatih cara membungkukkan badan dengan cara yang baik dan benar, tapi Ning lupa memberitahu saya tentang tiang mikropon yang nanti ada di depan saya. Ya, ujung mikropon itu dengan telak menghantam jidat saya ! Dan setelahnya bisa ditebak... Tanpa dikomando penonton pun memberi bonus tepuk tangan secara sukarela, dan tentu saja dengan iringan jerit tangis bocah kecil yang merasa kesakitan di jidatnya hahaha.
Seperti yang kita ketahui, hampir di tiap sekolah menggelar semacam prosesi untuk merayakan kelulusan siswanya. Prosesi itu biasanya berupa panggung hiburan. Diisi oleh para siswa itu sendiri, dengan menyuguhkan berbagai atraksi macam paduan suara, menyanyi ataupun seni tari. Demikian halnya dengan sekolah saya, menggelar acara serupa. Dan kebetulan saya pun mendapat jatah untuk mengisi acara perpisahan di sekolah saya. Deklamasi, itulah atraksi yang akan saya perani. Sebagai kenangan untuk sekolah yang sebentar lagi akan saya tinggalkan.
Saya sudah tak mampu lagi mengingat isi dari puisi tersebut. Seingat saya tema dari puisi itu tentang perjuangan Pangeran Diponegoro. Puisi itu dibuat oleh
Mendekati hari H, Ning makin intensif saja melatih saya. Membaca deklamasi sambil berdiri di atas kasur, itulah latihan yang harus saya lakukan sebelum tidur. Berulang-ulang kegiatan itu dilakukan, hingga isi puisi itu bisa saya hafal di luar kepala. Agar deklamasi saya terlihat meyakinkan, Ning mengajari saya tentang penekanan kalimat pada puisi yang saya baca. Beliau juga mengajari tentang mimik dan gerak-gerik saya saat di panggung. Tentang kapan saya harus mengepalkan tangan saat kalimat puisi menceritakan semangat perjuangan. Tentang kapan saya harus mengacungkan jari lurus ke depan saat kalimat saya berisi peringatan. Tak lupa pula Ning mengajari saya semacam kode penghormatan dengan cara menganggukan badan pada khalayak yang ada di depan.
Tibalah waktunya untuk menunjukkan dari hasil latihan berhari-hari. Bocah mungil itu nampak menaiki panggung saat namanya dipanggil pembawa acara. Begitu percaya diri berdiri di depan mikropon, lengkap dengan kostum plus sorban ala Diponegoro-nya.
Ada yang bilang langkah awal di panggung itu menentukan sempurna tidaknya penampilan kita di depan. Kesalahan di awal bisa jadi akan membuat rusak aksi panggung kita setelahnya. Alhamdulillah, ternyata saya bisa lewati fase awal aksi panggung tersebut dengan sempurna. Uluk salam saya berbalas riuh ramai sorak penonton yang ada. Seakan memberi suntikan semangat untuk melalap ludes isi puisi di depan mereka.
Saat saya menampilkan bahasa tubuh dengan mengepalkan tangan, penonton pun membalasnya dengan tepukan tangan. Pun demikian ketika saya mengacungkan jari, para penonton ikut mengamini dengan sorak sorai yang menjadi-jadi. Malam itu seakan saya menjadi seorang bintang pentas yang bisa menghibur penontonnya dengan puas.
Hingga akhirnya....
Sesuai skenario deklamasi itu harus saya sudahi dengan aksi apresiasi kepada para penonton. Dengan memberikan anggukan badan sebagai imbal balik atas aplaus yang mereka berikan. Tapi sayang, sebuah insiden kemudian terjadi saudara-saudara. Sebuah insiden yang membuat aksi panggung saya menjadi tidak sempurna.
Saya sudah dilatih cara membungkukkan badan dengan cara yang baik dan benar, tapi Ning lupa memberitahu saya tentang tiang mikropon yang nanti ada di depan saya. Ya, ujung mikropon itu dengan telak menghantam jidat saya ! Dan setelahnya bisa ditebak... Tanpa dikomando penonton pun memberi bonus tepuk tangan secara sukarela, dan tentu saja dengan iringan jerit tangis bocah kecil yang merasa kesakitan di jidatnya hahaha.
Cerita ini ditulis untuk menutup acara Vania's May Day
Hahaha... kasiaaann...
BalasHapushahahahaha ...
BalasHapusHahahhaa..
BalasHapuskebayang sakitnya :D
mantap kok safarinya
BalasHapussalam hangat dari Surabaya
Tanda tangan eh tanda benturane sik onok opo orang Kang ?
BalasHapuswakakakakakaka....
BalasHapussyukuriiiinn... belagu sih pake nunduk ala orang jepang
Hahaha...segede apa benjolnya mas Lozz?
BalasHapuswkwkkwkw uncle lozz sumpah aku ketawa ngakak baca cerita ini..sukses ya ngontesnya
BalasHapusDobel tawa buatmu uncle Lozz,semoga jidat yang kejedot tak membekas hingga sekarang...:D
BalasHapuswkwkwkw untung tiang mikrophone bukan tembok. Kl tembok sy pasti lebih ngakak lagi ketawanya :D
BalasHapusHaha minta gendong bu guru ga uncle. . .
BalasHapushahahahaha.... kebayang deh antara malu dan sakit
BalasHapusHahahahaaa, nah luuuh
BalasHapusgkgkgkgkgk.....apa perlu diulang tuh kejadiannya uncle....
BalasHapussalam
Masyaalloh .. lukanya membekas yay **
BalasHapusHuaaa.. benjol dunk yaaa.. ^^
BalasHapusHuahahahha ...
BalasHapusoalah le le ...
mbok ya ati atiiiiii ...
(telat ooommm)
Salam saya Essip
(slamet nJuri)
Ha, ha, ha,,,,, kasihan juga tuh bocah.....
BalasHapusSalam wisata
hahahaha.....gara2 ning ini ceritanya ya :D
BalasHapusHaduh untung gak pingsan ya mas ....
BalasHapusNing mana tau di situ bakal ada tiang mikrofon sebagai sparing partner :D
Anak saya si Affiq waktu masih TK, gak mau diajarin. Dia belajar sendiri. Eh gak nyangka dia bisa membawakan puisi di panggung, ada bahasa Inggrisnya pula. Tapi Englishnya saya tuliskan ejaannya saja tapi yang gak tahu pasti bilang keren sekali :D
wakakkaka wakakkaka wakakakka
BalasHapusbayangin diponegoro benjol kena microphone hahhahaha....
ganteng wesss
kasian Mikroponya hahaaaa ehhh maaf kang :)
BalasHapusitu kan dulu kejedot tiang mic
BalasHapussetelah dewasa kejedot apa hayoooo
nyimak aja gan.. blogwalking!
BalasHapusdipijit dong uncle :)
BalasHapusHihihihihi...tepuk tangan plus bonus kejeduk mike ya, Loz...kebayang kagetnya *dan malunya*
BalasHapus:P
Tapi hebat ah, anak TK aja udah bisa deklamasi selancar itu, lha saya...kelas 6 SD deklamasi di persami sekolah aja, pake acara lupa teks dan grogi setengah mati...gagal total deh penampilan pertama saya sebagai murid baru di sekolah itu!
Hallo, hallo...piye kabare, Lozz?
Maaf ya lama nggak kesini, hampir 2 bulan blog itu saya cuekin...hihi...kalo dibuka-buka, malah merasa bersalah karena nggak posting dan blogwalking...
;)
alamaaa.... atiiit.... hehe...
BalasHapuskenagan tak terlupakan ya mas :P
BalasHapusHahaha... Mantap deh uncle...!
BalasHapusKlo saya udah grogi duluan, boro borobisa baca puisi.. Hahah..
Uncle Lozz, terima kasih banyak yaaaa.... Jd kenangan buat vania ini ^_^
Hahaha... bisa dibayangkan bunyi mikropon saat itu, "Tak, nguinggggggg....."
BalasHapusBTW, saya punya stok applaus pemirsa termeriah sepanjang masa, pertama waktu memberi sambutan perpisahan sebagai peserta wisuda dan kedua waktu manggung band pertama kali. Acara manggung band selanjutnya hingga sekarang, meriah juga sih, tapi biasa.