Apa Yang Kau Cari, Hai Pendaki?
Beberapa belas tahun yang lalu aku juga sama sepertimu kawan. Ketika secarik kain berwarna ungu itu baru saja melingkar di leherku. Saat benak ini hanya dipenuhi oleh satu obsesi. Mendaki, mendaki dan mendaki, itu saja. Namun, di tengah perjalanan akhirnya aku baru sadar akan sesuatu. Tak harus menjadi seorang pencinta alam, jika kau hanya ingin berpetualang! Sebab, mendaki sebenarnya bisa dilakukan oleh siapa saja. Bukan hanya aku atau kamu, tapi juga mereka.
Kurasa mendaki itu cuma butuh tiga hal saja kawan. Duit yang cukup di tangan. Sedikit ketrampilan serta kekuatan. Dan, yang terpenting adalah belas kasihan. Yah, belas kasihan, itu yang paling dibutuhkan oleh seorang petualang. Bukankah karena sebuah belas kasihan Tuhan, puncak tinggi itu bisa kita gapai dengan tangan? Bukankah karena setitik sifat Rahman-NYA pula kita bisa selamat pulang, dan kembali berkumpul dengan keluarga?.
Kawan, mendaki itu bukan sebatas menumpuk dokumentasi di situs jejaring pribadi. Bukan pula ajang pembuktian sebagai seorang pencinta alam yang jantan. Jika itu saja yang ada dalam pikiranmu, kurasa kau masih belum memahami esensi dari mendaki. Dari setiap cucuran keringat, disitu ada mutiara hikmat. Dalam setiap perjalanan, disitu pula ada makna pelajaran tentang kehidupan.
Saat kau dirundung gila tenar dan sanjung. Cobalah untuk berdiri di puncak tinggi itu. Lihat kawan, adakah sorak sorai tepuk tangan penonton yang mengitarimu. Adakah spanduk "selamat datang" yang menyambutmu? Mungkinkah pula ada sebuah tropi yang bisa kau angkat tinggi-tinggi sebagai tanda kemenanganmu?
Saat kau di puncak tinggi itu, mungkin saja kau merasa lebih tinggi dari segalanya. Coba tengok di sekelilingmu. Kanan, kiri dan juga yang ada di atasmu. Lihat, bandingkan dirimu dengan bentang alam yang menghampar di sana. Bayangkan dirimu ada diantaranya, itulah sebenarnya dirimu. Kau tak lebih hanyalah sebuah noktah yang mungkin tak nampak jika ditatap dari kejauhan. Masihkah kau merasa lebih tinggi? Jadi, kenapa kita merasa seakan mampu memegang matahari? Bukankah di atas langit masih ada langit kawan? Tak mungkin kita mampu menggapai matahari itu. Bahkan untuk menatapnya saja, kau tak akan kuasa oleh silaunya.
Berada di puncak yang paling tinggi, bukan berarti kita telah menjadi pemenang sejati. Jangan lupa kawan, semakin tinggi tempat kita berdiri, semakin kencang pula angin yang menerpa di kanan kiri. Posisi tinggi dalam kehidupan bukanlah jaminan tidur kita akan menjadi aman sekaligus nyaman. Sebab, bisa jadi ada angin dari luar sana yang akan menerpamu secara bertubi-tubi. Sekencang-kencangnya, tanpa kau sadari dari arah mana datangnya. Bahkan acapkali angin itu mencoba menjatuhkanmu hingga posisi serendah-rendahnya. Tapi, santai saja kawan. Bukan itu yang perlu kamu takuti. Jadikan saja ikhlas dan sabar sebagai tameng untuk menahan terpaan angin di luaran sana.
Kuhanya takut hembusan angin kecil dalam diri yang justru akan menggoyahkan kaki penopang kita berdiri. Tiupan angin dalam hati bernama sombong, riya' dan dengki, itulah yang harus kita waspadai. Jangan biarkan tiupan itu semakin berhembus, menerobos dinding hati ini. Sebab, jika itu menjadi kebiasaan, bisa jadi akan menjadi sindrom saat usia senja nanti. Saat rambutmu telah dipenuhi uban, kau masih saja sibuk berebut pujian. Saat keriput mulai membalut kulitmu, kau pun masih saja bernafsu memburu jempol-jempol itu.
Kawan, bukan berarti aku antipati pada kata-kata mendaki. sebab, hingga hari ini petualangan itu masih kusenangi. Mungkin saja aku sedang jemu untuk melakukannya. Seperti halnya kejemuanku pada dunia abstrak yang sedang kulakoni lewat layar mini ini. Mungkin ada baiknya kita berbincang tentang hal yang lain saja. Sesuatu yang lebih pencinta alam tentunya. Tentang periculum in mora. Atau tentang alam raya yang butuh sentuhan sayang dari tangan kita. Kenapa kita enggan perbincangkan jernih sungai yang sekarang berubah bak comberan? Kenapa kita tak berdiskusi lagi tentang burung-burung yang enggan bernyanyi kala pagi hari?
Mungkin lain waktu kubiarkan ransel gunung itu kembali memijat lembut punggungku. Mungkin lain hari aku akan kembali mendaki sepertimu. Tapi, tentu saja bukan bermaksud untuk menjadi yang lebih tinggi, atau mungkin meninggi. Sebab, mendaki itu kulakoni 'tuk sekedar mengasorkan diri.
Salam Lestari !
Note : Hari ini lantunan "santai saja kawan" terasa lebih merdu dibanding kicauan sekerumunan burung di semak belukar itu. :)
yang jelas cari pegel, om...
BalasHapuscape cape naik semalem suntuk, begitu sampe puncak turun lagi
begitu pegelnya dah sembuh, minggu depannya ndaki lagi
haha
Welkome Uncle, piye kabare, masih sehatkah, masih selestari Gunung Manggar kah,,
BalasHapusHehehe, mungkin jadi cap Teri tapi gurih itu yang lebih essip, dari pada Bandeng yang selalu terkungkung dalam sebuah kaleng, menunggu pembeli yang membukanya, bahkan dia sampai kadal warsa
Begh, komen opo aku iki Uncle, hehehe
SALAM LESTARI !!!
walah dianya muncul lagi...
BalasHapuswelcome back brother...
kangen ma uncle.. nomor Hp dah ganti ya??
BalasHapusMas Looooozzz... Aduuh... Kangen banget sama untaian kalimat2nya... Ingat khan...? Aku adalah salah satu penggemar tulisanmu...
BalasHapusBahkan aku juga hafal dgn sapaan suaramu...
Apa kabar mas...? Semoga apa yang mas Lozz ceritakan waktu itu, tentang rencana2, terwujud nyata...
Salaaam hangat maass...
Semua benar adanya kawan, diatas langit masih ada langit.
BalasHapusMendaki kalo buat saya adalah memaknai diri, semesta dan sang pencipta.
Salam.. .
apa kabar uncle? lama gak liat kabarnya nihh :)
BalasHapussetuju, memang hrs bs di bedakan mana itu petualang dan pecinta alam. Walopun idealnya sih seorang petualang (apalagi udah byk gunung di daki) arusnya lebih bisa mencintai alam. Tapi kalopun kita gak sanggup mendaki banyak gunung tinggi (seperti saya contohnya.. Hehee..) bukan berarti kita gak bisa menjadi seorang pecinta alam. Karena pecinta alam gak selalu ttg hal daki mendaki sebetulnya :)
hai uncle..! Alhamdulillah baca tulisan uncle lagi.
BalasHapuskangennnn :D
BalasHapusWelcome back uncle....
BalasHapusDalam mutiara jiwa terdapat aksara yag selalu melintas dalam pikiran dalam menggugah realita untuk memberikan angis kesegaran bagi jiwa insan menuju sebuah penerenungan yang hakiki.
Sukses selalu
Salam Wisata
wa~
BalasHapussdh mau lewat setelah bulan sebelas....
ternyata baru naik gunung :D
Sama neh, pas saya, una dan Mbak AL dan Idah ke dieng kemarin. Waktu jalan ngos2an ke dieng kita juga iseng tanya sndiri: apa ya yg kita cari dgn bersusah2 beginian?
BalasHapus#kepuasan tersendiri jk bisa mendaki gunung/ mbolang
Santai saja kawan
BalasHapusAku kan Pencinta Alam
Saat mendaki
Yang kutemui hanya sepi
Tak ada sambutan
Dan tak ada tepuk tangan
Yang ada hanya
Antara aku dan Tuhan
- lirik SANTAI SAJA KAWAN -
Wuih, sangar koen postingane, hehe..
Assalamualaikum, Selamat datang kembali Bang Lozz...
BalasHapusDan terima kasih sudah mengajak saya "Muhasabah Diri" tentang siapa diri ini sebenarnya. Makhluk yang tidk pantas SOMBONG!
Saya juga suka naik gunung bang, dan saat naik gunung itulah saya benar-benar merasakan kenikmatan yan diberikanNya,
Saat mencium udara hutan, cericit burung, bau daun, gemersik ranting-ranting pohon. Saya begitu melebur dengan ciptaan Allah yang lain.
Eh malah curcol,
Semoga bisa naik gunung bersama ya bang :D kalo Kawah Ijen sudah pernah belum?
buat yang berjiwa petualang mendaki gunung adalah suatu hal indah dan kepuasan tersendiri jika mencapai puncak tertinggi :D
BalasHapusweitsss, lama gak nulis, muncul dengan tulisan yang dalem banget ...
BalasHapussehat Kang ?
merasakan perjuangan setapak demi setapak yang dibayar dengan puncak kepuasan dan kebahagiaan berada dipuncak tertinggi yang menghasilkan muhasabah diri dalam sebuah kesimpulan yang sangat indah, mengasorkan diri. Itulah tipe pendekar sejati. Seorang prajurit biasa, senjata utamanya adalah tombak yang panjang dan itu sangat menyolok di lihat orang. Semakin bertambah kesaktian si prajurit, semakin pendek sejatanya, ia hanya membutuhkan keris yang hanya beberapa jengkal, dan semakin tinggi kesaktian seorang prajurit, ia tidak lagi membutuhkan senjata karena dengan tangan kosong yang tidak terlihat orang lain justru memiliki kekuatan yang luar biasa.
BalasHapusMaka begitulah seharusnya hidup, ketika kita berada pada titik kesuksesan, seharusnya memunculkan rasa rendah hati tanpa menggadaikan menjadi rendah diri.
--
penghuni lereng semeru
Mas, itu kaosnya emang kutungan atau t-shirt yang lengannya dipotong?
BalasHapus*pertanyaan gak penting #abaikan #eh
masuk ke alam raya tak boleh menyombongkan diri gitu ya uncle ?
BalasHapusapa kabar ..., sudah lama tak ada sapaan tante untukku
semoga sehat wal afiat
kelor cari damainya sam loss. cari sejuk udaranya. cari tenang alamnya. gak muncak juga gak papa, yang penting selamat di jalan. dan juga ga ngerusak lingkungan. hihihihihi.
BalasHapusSearching For Nothing sam ;D
BalasHapusSuwi gak nongol samyan, sekali nongol postingane keren ;D
Assalammu'alaikum.. apa kabar mas,,,?
BalasHapussebelumnya saya mohon maaf karena nggak sempat ngasih kabar pernikahan saya.
maaf ya mas..
alhamdulillah saya sudah menikah dengan seseorang yang sempat diceritakan dulu..
dan sudah terhitung delapan bulan saya hiatus. sekarang eksis lagi.
Habis bertapa ya uncle Lozz, kok lama ga nongol :).
BalasHapusHahaha kegundahan pendaki senior terhadap juniornya ya Mas?
BalasHapusHampir sama dg atlet yg masih 'baru' bertanding sudah woro2 kesana kemari
padahal yang sudah dapat medali malah rendah hati :)
Suka dengan kalimat ini
BalasHapus"Berada di puncak yang paling tinggi, bukan berarti kita telah menjadi pemenang sejati"
Kadang memang banyak orang lupa kalo sudah berada di posisi paling tinggi
Apa khabar Uncle?
BalasHapusDuch senang ya bisa BW dan baca tulisan Uncle lagi :)
Salam Lestari...
Halau, kakanda. . . :D
BalasHapusAkhirnya sudah kembali lagi. . .
Aku pertama kali mendaki tuh bareng sama Una, Mba Al dan Mba Rie.
Sebenarnya senang sih bersahabat dengan alam seperti mendaki, tapi koq ya rasanya takut. :)
Mendaki bukan untuk gagah2an, tapi untuk? Emm, untuk apa ya? :D
malam uncle, kemana saja nih menghilang ya ? :)
BalasHapusMantaffff :) tulisanmu tetap menyanyat sam...
BalasHapusTulisan mu membawa angin segar dihati meyejukkan jiwa yg penuh ambisi akan tepuk tangan dan acungan jempol menjadi tenang dan sadar akan langit lebih tinggi dari gunung yg kudaki.
BalasHapusSantai saja kawan dan salam lestari...:-)
Tulisan yang menyejukkan dan uncle selalu bijak dalam bertutur dan bersikap.
BalasHapusMakasih Uncle :)
asikk bangett boz tulisane, kuterhening seperti menikmati keheningan awan yang berarak di bawah kita dan semburat laut biru di kejauhan sana. Aku rindu dibelai angin malam dalam himpitan tenda. Aku rindu kawan...
BalasHapusMantap! naik gak sembarang naik yaa..Diatas langit masih ada langit! :)
BalasHapusjeruuu.. :)
BalasHapuskepuasan setelah mencapai ujung nya. haaahaha
BalasHapusartikelnya di copas http://gispala.wordpress.com/2013/07/15/apa-yang-kau-cari-hai-pendaki/#more-587
BalasHapusWah hobi mendaki juga ya
BalasHapusHihihihi
Kalau saya sih takut ketinggian
Aku bingung dg orang2 yg suka mendaki. Sepi, capek, dingin, yang dicari apa? Setelah baca diatas jadi sedikit ngerti. Meski uncle bilang mendaki bukanlah soal jantan, tp waktu sekolah dulu sempet takut kalau lihat kelompok pecinta alam sekolah. Kesannya eksklusif & jagoan. Semoga artikel ini banyak dibaca para pecinta alam, bahwa semua mungkin karena belas kasihan Allah. Tulisan yang membuka mata :)
BalasHapusGhila! Ghila abis nih postingan buaguus banget. Karya anakku ini memang berbobot banget. Ketinggian memang akan membuat kita dengan mudah menengadahkan wajah alias timbul kesombongan. Tapi dengan mengingat ada yang tertinggi dari yang lebih tinggi, kesadaran akan siapa diri kita akan muncul. Kesadaran akan kita ini hanya sebuah noktah saja di mataNya. (hehehe...opo maneh, ini. Lozz, Bunda suka banget sama isi postingan ini, ada kekuatan akan kesadaran diri kita sebagai makhlukNya yang tidak berdaya tanpa kekuatan dariNya. Kapan ke Jakarta lagi (plus ke Pamulang or Ciputat?) Salam buat Arek2 Jember di sini.
BalasHapus