Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2013

Tiket dari Maling Budiman

Gambar
S uatu pagi usai bangun dari tidurnya, Dargombez   melihat sebuah kertas nampak tergolek di lantai ruang tamu rumahnya. Kertas itu menarik perhatiannya. Berwarna merah jambu. Berbentuk seperti surat undangan dan terlihat sengaja diselipkan begitu saja melalui sela daun pintu. Spontan, Dargombez pun menggerutu dalam hati. "Jiasik, siapa lagi sih yang nikah hari ini?" gerutu Dargombez. "Kenapa sih setiap bulan haji orang nikah pada saling ngantri?" "Dua hari yang lalu si Markonah nikah, kemarin giliran si Jaeman yang kawin." "Lah sekarang datang lagi surat undangan. Apa mereka enggak paham kalau aku sedang kesusahan?" Dargombez mengambil kertas bersampul merah jambu itu, lalu membacanya. (sorot gambar untuk mengintip isi suratnya) Kepada Yth Bapak Dargombez Sebagai tanda terima kasih, terimalah tiket nonton bioskop ini. Maaf, sekarang saya tak bisa memberi Anda hadiah yang layak. Tapi, saya berharap semoga tiket ini bisa se

Kata Mereka Itu Bapak...

Gambar
D ari beberapa giveaway yang pernah ada, mungkin inilah yang tersulit bagi saya. Berhubung saya gerah dengan aksi provokasi sohibul hajat giveaway di warung sebelah. Jadi terpaksa saya luluskan semua pintanya. Walau mungkin saja tulisan ini nanti akan melebihi 500 kata. Tapi sudahlah, setidaknya saya sudah turut meramaikan meski melanggar aturan. Atau anggap saja ini artikel hadiah buat  Pendar Bintang , si nyonya rumah. Sebagai ucapan terima kasih sebab dulu pernah pula meramaikan rumah maya sederhana ini. Ya, tiga tahun yang lalu ketika blog ini masih sepi, komentar mbak Hanila seringkali turut mewarnai. Meski sekali lagi semua tak mudah untuk saya tuliskan. Bak seorang pemulung, saya harus kembali mengais-ngais serpihan memori yang tertinggal di kepala akan sebuah cerita bernama Bapak. Menjadi artikel yang sulit sebab masa kecil saya dipenuhi kisah rumit. Di saat semua peserta begitu mudah menulis detil cerita masa kecilnya, justru saya kesulitan harus memulai dari mana. Mereka

Bangga Itu....

Gambar
S uatu hari seorang pengguna di warnet setengah berteriak ke saya, "Ih mas ndeso ah mutar lagu gituan.". Saya cuma tersenyum saja. Hanya diam. Lalu menjawabnya dengan menaikkan seperempat level suara musik dari sebelumnya. Sambil berpikir dalam hati, apa ada yang salah dengan musik yang saya putar? Apa karena kendang kempul liriknya berbahasa Osing, lalu dicap musik ndeso ? Padahal kendang kempul itu karya orang Indonesia. Jadi jika bukan kita, lantas siapa lagi yang akan membanggakannya? Kebanggaan itu menurut saya adalah mencintai sepenuh hati dan tak malu mengakui apa yang menjadi milik sendiri. Juga tak mudah silau dengan sesuatu pada orang lain yang kita anggap hebat. Kendang kempul mungkin hanya musik tradisional yang tak begitu terkenal. Kalah pamor dengan Gangnam Style, atau mungkin dianggap tak sekeren Boyband Korea. Meski sederhana dan biasa tapi jika milik kita itulah kebanggaan buat saya. Sebaliknya sehebat atau sekeren apa pun jika bukan milik sendiri itu han

Berteduh di Rumah Uncle

Gambar
Konon, Persahabatan itu Bagai Kepompong.. S aya menuliskan kisah ini ketika berada di rumah Uncle Lozz Akbar, tepatnya di Gang Melawai, Balung Lor, masuk wilayah Jember Selatan. Kata Uncle, "Nuliso nang essip dot us Sam, untuk artikel ke-250." Saya bilang, oke! Dan di sinilah saya sekarang, berteduh di blog personal milik Uncle. Baiklah, cerita akan saya mulai pada 22 September 2013. Siang itu Prit pulang dari kampus dengan wajah yang lesu. Kenapa Nduk? Oalah, ternyata Prit tidak berhasil merubah lokasi PPL (menjadi guru pengajar di sebuah SMU). "Lokasinya tetap di Jember Selatan Mas," begitu kata Prit. Saya mencoba menenangkannya dengan menceritakan hal-hal lucu. Berhasil. Prit tersenyum. Sorenya, Mas Mungki Krisdianto datang ke rumah panaongan dengan wajah yang segar. Dia mengenakan kaos Kedai Gubug, bercelana hitam, dan bersiap untuk segera keluar lagi. "Aku nang omah Kreongan disek yo, bojoku teko nggowo iwak laut." Begitulah, pada akhirnya

Tulis Saja Meski Tak Nyastra

Gambar
B anyak diantara pengguna warnet menyangka jika saya fasih berbicara bahasa Inggris. Maklum di warnet mereka acapkali melihat percakapan antara saya dan majikan. Ya, kewarganegaraan bos Montaser adalah Mesir. Arab menjadi bahasa resmi ketika berbicara dengan sang istri. Inggris menjadi bahasa kedua. Sisanya dia gunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan orang-orang di sekelilingnya. Tentunya dengan kualitas berbahasa Indonesia yang tak jauh beda dengan grammar Inggrisnya. Yah, sama-sama ngawurnya. Inggris pasaran, itulah kualitas percakapan antara saya dan majikan. Tak begitu peduli soal grammar, yang terpenting kami sama-sama tahu maksud dari percakapan. Membuat istilah atau sebutan seenak udelnya. Misalnya "little bomb" untuk menyebut mercon. Atau "breakfast after Maghrib" , yang maksudnya adalah "berbuka puasa". Kadang kami pun melakukan semacam mix pada kedua bahasa. Misalnya dalam percakapan seringkali kami menyebut "one ribu"

Kitalah Penulis Sejarahnya

Gambar
S ejarah, topik ini seringkali menjadi pemicu engkel-engkelan antara saya dan majikan. Tidak, engkel-engkelen kami tidaklah seperti yang biasa terlihat di televisi. Tak ada aksi gebrak meja layaknya anggota dewan. Atau,diskusi sambil berbasah-basah ria ala Munarman. Diskusi yang hangat nan santai. Sebab diantara kami hanya ingin mengenal jauh masing-masing jeroan negaranya. Saya ingin lebih mengenal sejarah serta budaya negeri bernama Misr alias Mesir. Sebaliknya sebagai warga asing, sang majikan juga ingin mengenal jauh Indonesia dengan segala pernak perniknya. Seperti yang pernah saya tulis di artikel berjudul "Majikan Vs Bawahan = Piramid Vs Tempe" , engkel-engkelan itu memang kerapkali terjadi. Darah Arab yang tak mau kalah omong bertemu dengan Ras Jawa bergenus ngeyel , membuat suasana diskusi hangat berubah menjadi ajang debat. Maklum, ego nasionalisme masing-masing tak mau untuk dikalahkan. Masing-masing diantara kami tentu saja lebih mengunggulkan negerinya s