Jakarta, Kelak Aku Akan Kembali


Banyak yang bilang  orang tua kandung saya adalah seorang perantau sejati. Jauh sebelum orang-orang di kampung berduyun-duyun mengadu nasib di Jakarta seperti sekarang, bapak  sudah terlebih dulu merasakan pahit legitnya ibukota. Mereka bilang jika bapak dulu merantau ke Jakarta dengan menumpang kereta barang. Tak banyak yang bisa saya ceritakan dari almarhum bapak, sebab bertemu beliau saja bisa dikatakan kurang dari jumlah jari  tangan. Hingga akhir hayatnya dikabarkan jika bapak menyambung hidupnya di ibukota dengan menjadi penjual ikan hias di kawasan Jalan Pramuka.

Pun demikan dengan almarhumah Mamak saya. Dulu mamak pernah bercerita jika beliau memulai kehidupan rantaunya sejak usia belia. Menyabung nasib dengan menjadi pembantu dari satu rumah ke rumah lainnya. Hingga perjuangan beliau membuahkan hasil. Yah, mamak pernah mempunyai usaha sendiri. Sebuah kantin kecil yang juga pernah saya dolani. Kantin kecil itu terletak di pinggir sebuah gedung megah, belakang Museum Gajah. Saya tak tahu nama gedung itu apa. Yang saya tahu artis Primus dan binaragawan Ade Rai nampak sering keluar masuk di dalamnya, itu saja.

Itulah sedikit cerita tentang kedua orang tua kandung saya. Keduanya perantau sejati dan sama-sama menghabiskan lebih dari separuh usia jauh dari kampung halamannya.

"Buah jatuh tak jauh dari pohonnya", ungkapan itu sepertinya tak berlaku pada diri saya. Meski dialiri darah perantau sejati,  jiwa itu sepertinya tak ada dalam diri saya. Namun, setidaknya ada sedikit pengalaman yang bisa saya dapatkan saat kurang lebih dua tahun menjadi kaum urban. Merantau pada sebuah kota yang menjadi magnetnya para pengejar mimpi. Di kota tempat berdiri sebuah "Tembok Pembatas" yang pernah saya ceritakan pada Vania. Kota yang telah memberikan udaranya untuk saya hirup pertama kali dengan merdeka. Yah, saya mencoba mengejar mimpi itu di tanah kelahiran saya sendiri, Jakarta !

Saya mulai perjalanan itu seperti halnya bapak. Sama-sama menumpang kereta api. Sama-sama pula menggenggam sebuah mimpi. Tapi, saya lebih beruntung dari bapak. Kereta api saya lebih mewah dari yang bapak tumpangi. Kelas ekonomi berbandrol tiga puluh delapan ribu. Kereta itu difasilitasi tempat tidur di bawah jok kursi. Beralas koran agar baju kita tak bercampur sampah dan kotoran.

Di Jakarta saya bekerja pada sebuah mega proyek salah satu perumahan terbesar di Indonesia. Berkumpul dengan orang-orang yang bekerja bak mesin yang terus berputar, agar proyek itu segera kelar. Meski saya bekerja sebagai asisten paman. Seorang seniman patung yang lumayan ternama. Tapi, semua itu sama saja. Sedikit beda kasta, tapi pekerjaannya sama seperti mereka. Sama-sama menjadi kuli, yang menjadikan pasir dan semen sebagai teman mesra sehari-hari.
Merantau itu menurut saya adalah seni mengatur pendapatan yang telah kita kantongi. Tentang cara kita menyeimbangkan jumlah penghasilan dengan biaya hidup di kampung orang. Tentang bagaimana kita bisa menyisihkan duit tanpa harus mengencangkan sabuk perut dengan begitu melilit. Merantau itu bukan semata mencari pengalaman di negeri orang. Tapi, juga mencari modal materi yang bisa kita jadikan sayap usaha saat kembali ke kampung kita sendiri. Hal itulah yang saya lupakan. Mungkin karena euforia gemerlap ibukota membuat terlupa dengan tujuan awal saya. Sekarang dapat hari ini sikat! Hingga saat pulang baru tersadar jika tiada sepeserpun hasil kerja yang bisa dibanggakan.

Merantau itu juga tentang mental kita untuk senantiasa hidup betah jauh dari rumah. Inilah yang tak saya punyai. Saya adalah pribadi yang sulit melupakan hal-hal yang telah menjadi kebiaasaan. Keluarga di rumah, teman-teman dan kehidupan kampung halaman, itulah yang sulit saya lupakan. Mungkin terdengar cengeng dan tak lelaki banget. Tapi, ini soal balas budi pada keluarga yang telah membesarkan saya seperti sekarang ini. Tentang rasa cinta saya tanpa harus menjauh dari mereka.

Pernah di suatu ketika saya putuskan tak mudik saat lebaran tiba. Alasannya sederhana, saya menunggu upah kerja yang tak kunjung tiba. Saat itulah saya merasa betapa berharga arti keluarga di kampung sana. Benar adanya jika Jakarta adalah tanah kelahiran. Tapi, bagi saya Jember adalah nafas kehidupan.

Saat lebaran memasuki hari kedua, akhirnya saya putuskan pulang. Tanpa  peduli lagi dengan gaji yang tak kunjung datang. Meninggalkan nuansa lebaran megapolitan yang sepi bak kuburan. Yah, kembali menuju kota kecil itu lagi. Berkumpul bersama keluarga yang saya cintai. Sejak itulah saya merasa kapok untuk merantau lagi.

Maafkan aku Jakarta jika  tak bisa lagi berkarya bersamamu. Maaf jika sekarang kupilih kota kecil ini menjadi labuhan  berkarya hingga menutup mata nanti. Jangan khawatir kelak aku akan kembali melakukan reuni denganmu. Tapi bukan, bukan kembali menjadi seorang perantau seperti dulu. Mungkin hanya menjadi seorang pemantau. Yah, hanya sekedar memantau saja, apakah kamu masih mengenaliku seperti awal mula?

Artikel ini untuk menyemarakkan giveaway Gendu-gendu rasa perantau

Sumber gambar DISINI

Komentar

  1. Dekek sandal dan kopi dise' yo Uncle :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. [im]http://4.bp.blogspot.com/-nQoSedWzwHU/UDULQhq8o1I/AAAAAAAAAE4/pQ-k4QEcZ-0/s320/sandaljepit2.jpg[/im]

      Hapus
  2. Manjadi kaum urban itu memang tidak mudah Uncle, selain harus mandiri pergaulan harus benar2 di jaga, tak sedikit orang yang merantau pulang malah mendapatkan nasib yang semakin buruk, ,

    Kalau hanya jadi Uncle Pantau aku kate melu pisan hehe, tapi mugo2 ae saya dan sampean bisa main2 ke Jakarta untuk bersilaturrahmi kesanak saudara dan sekalian kopdar :)

    Sukses GA nya Uncle :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku mendengar kata kopdar diucapkan...! Mariiii...!

      Hapus
    2. Oyi sam.. nanti kita kopdar di kantin kecil Bunda Lahfy

      Hapus
  3. Nyruput kopine yo mas Lozz...

    Aku pernah baca kisah mas Lozz menaklukkan Jakarta.
    Nanti kalau ke Jakarta lagi... Datanglah dengan kepala tegak penuh kemenangan, bahwa meninggalkan Jakarta adalah pilihan yang tepat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang pasti dengan perut lapar Bun.. soale mungkin saya mau numpang makan di kantin sampean hahaha

      Hapus
  4. pahit getirnya perantau tak seperti pahitnya kopi tak bergula
    hayo bersama memantau kopi2 yang tersisa

    BalasHapus
    Balasan
    1. ayo ngopi..

      [im]http://images.wikia.com/aceattorney/images/2/2b/Godot_Chugging_Coffee.gif[/im]

      Hapus
  5. jadi perantau itu penuh suka duka ya uncle...
    dulu juga sempat jadi perantau di awal kerja, waktu punya gaji cuma segitu2nya..., mesti ngirit makan he..he..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dukanya itu terasa saat mencuci baju di kamar mandi Tante hahaha.. Jadi ngelamun sambil ucek-ucek baju ingat kampung

      Hapus
  6. tulisanne keren masbro, sampai kerelung hati leh ku moco.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihihi.. ono-ono wae Kang..

      Matur nuwun ya

      Hapus
  7. aku belum pernah tinggal jauh dari keluarga sampai sekarang. Kadang ada keinginan buat hidup merantau. Eh, tapi jangan dink .. tetep di Parongpong aja ..hehe

    sukses GA-nya ya ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Merantau ke kampung sebelah aja bu Dey, biar gak jauh dari keluarga :p

      Hapus
  8. saat merantau jauh dari keluarga terkadang kita baru sadar betapa berartinya kebersamaan bersama mereka ya uncle.

    sudah cukup lama saya jadi perantau, tapi saya masih tetap sering di landa home sick yang parah lho uncle...hehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Homesick? wow obat yang paling mujarab mudik ya mbak

      Hapus
  9. Ke jkt nya pas liburan saja ya mas :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah masalahnya saya gak ada libur mbak Ely :(

      Hapus
  10. nanti Nai & Keke ajak jalan2 ke Monas kalo uncle ke Jkt lagi :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekalian nanti saya tunjukin bekas kantin Mamak dulu

      Hapus
  11. merantau itu asik...
    jadi tau dan kenal banyak orang dari berbagai latar belakang
    dengan merantau pola pikir kita bisa lebih dewasa ketimbang yang tak pernah keluar dari kampungnya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau saya wis kapok merantau Kang.. Eling omah teruuus hehe

      Hapus
  12. Kene om
    Ke rumahku siniiii...

    BalasHapus
    Balasan
    1. ora ah. nanti malah disuruh nyanyi gitaran ampe modar sama kamu haha

      Hapus
  13. ah cerita uncle ttg perantauan yg mengharu biru. sama kang, aku juga anak perantau sejati dan sampai saat ini menjadikan rantau sebgai kampung halaman. uncle beruntung hidup dikampung yg sesungguhnya ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dimanapun tempatnya semoga kita gak lupa untuk terus berkarya ya mbak :)

      Hapus
  14. sukses GAnya ya, mas.. saya juga merantau nih,, tapi masih belum kepikiran mau nulis apakah? hihihi...

    BalasHapus
    Balasan
    1. dan saya baru liat sekarang, udah tanggal 1 maret inih huhuhu :(

      Hapus
    2. publish aja deh mbak. hahaha

      salam kenal ya

      Hapus
  15. Hiks..terharu aku bacanya..
    se enak2 nya merantauu di kota besar tetep enak di kampung halaman sendiri ..
    yang penting nyaman..!

    sini Uncle..
    merantau ke BAndung belom kaan ??
    #setia menanti yang akan memantau Bandung

    BalasHapus
    Balasan
    1. sip.. nanti saya dolan kesana naik kapal selam wkwkwk

      Hapus
  16. Baaaaang...
    merantau di Jakarta emang seru kalo niatnya untuk mendulang rejeki setinggi mungkin...
    emang disonolah tempatnya...

    Tapi kalo mau berkeluarga dan hidup tentram...ayolah merantau ke Bandung...hihihi...
    Disini cucok bang :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. wow. piye kalau saya jadi asisten Taekwondo Abah aja di Bandung hihihi

      Hapus
  17. kantin kecil dibelakang museum gajah dekat dengan gedung Indosat dong kang? saya sering makan dikantin2 belakang situ dulu

    BalasHapus
    Balasan
    1. oh ya.. mungkin sampean pernah makan di kantin Mamak saya mbak.

      Hapus
  18. Sukses ya GAnya, heheheh

    Setuju sama @Bibi Titi Teliti...Ayo mBAndung yukkk :)

    BalasHapus
  19. Seru cerita perantauannya Mas, emang gitu ya, orang 'Jawa' pergi ke Jakarta selalu ngerjakan proyek gedung dulu, jarang kalau langsung jadi penghuni gedung.
    ayo nang Suroboyo Mas..

    BalasHapus
    Balasan
    1. pulang ke kampung terlihat keren yo mbak Yun.. Padahal kerjane podo wae kayak di desa haha

      Hapus
  20. Tulisane mantap, Lozz...bikin kalimat-kalimat mengalir kayak gini ini resepnya apa to?
    Dan tentang merantau, saya justru mengalaminya dari kecil. Sejak kelas 5 SD tepatnya.
    bapak yang berprofesi tentara, membuat saya sudah mengenal arti pmdahan bahkan sebelum saya pacaran...hehe
    :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Resep? Hmmm kayaknya karena sering membaca tulisan mbak Irma deh ;)

      Hapus
  21. Dhe belum pernah ke jakarta seumur2, kalau lewat doank via soeta sering.
    ayo ucle, kapan ke jkt lg ajak2 yah.. hehehe

    BalasHapus
  22. Bukan sebagai perantau, tapi sebagai PEMANTAU.. saya suka kalimat ini Uncle....

    BalasHapus
  23. sampai sekarang belum pernah pergi marantau... sepertinya asyik.. ketika waktu merindukan tempat asal...

    BalasHapus

Posting Komentar

Terima kasih telah membaca artikel dengan cara seksama dan tidak dalam tempo sesingkat-singkatnya