Ah Bulik, Tahu Saja...

Kontes Unggulan Hati Ibu Seluas Samudera

Sulit, rasanya begitu sulit jika saya disuruh bercerita akan silsilah. Apalagi bercerita tentang seorang ayah, rasanya itu adalah hal yang paling susah. Yang saya tahu, sejak kecil hingga sekarang saya hidup berdamping dengan seorang Ibu yang akrab dipanggil Ning. Yang saya tahu, saya tumbuh besar dalam sebuah keluarga yang tak pernah henti mencurahkan kasih sayangnya pada diri saya. Memberi makan saat perut saya kelaparan. Mengobatkan  ketika didera kesakitan. Memberi  pendidikan agar kepala saya terisi pengetahuan sebagai bekal masa depan. Satu hal lagi yang saya tahu, keluarga itu sama sekali tak pernah peduli tentang asal-usul serta bibit bebet bobot yang saya punyai. Masih saja mencurahkan cinta dengan porsi yang sama pada diri saya serta anak semata wayang mereka. Itu saja silsilah tentang saya.

Ketika kecil dulu seringkali orang-orang sekitar bercerita tentang diri saya. Sengaja atau tak sengaja, mereka coba menguak akan jati diri orang tua saya sebenarnya. Namun, semuanya tak berpengaruh dalam diri saya. Ya, tiada kisah sinetron ala "Putri Yang Terbuang" nan mengharukan. Tiada adegan seorang anak yang menangis sesenggukan ketika mendapati dirinya hanyalah anak pungutan. Semuanya baik-baik saja. Pikiran polos saya sudah mampu mencerna apa yang dikata orang-orang tentang diri saya sebenarnya. Rasa cinta pada keluarga yang membesarkan saya, seakan membuat hati saya tegar menerima kenyataan di usia yang masih belia.

Ketika beranjak dewasa, barulah ada semacam pergolakan batin pada diri saya. Maklum, dinamika hati seorang remaja mudah sekali berubah-rubah. Bahkan kadang suka mengingkari apa yang menjadi kehendak Illahi. Suka mengkambinghitamkan saat diri sedang didera kesempitan. Kadang pula menyalahkan nasib  semasa kecil dulu dengan segala impian yang tak bisa saya raih saat itu.

Syukurlah, Tuhan ternyata telah memberi jawaban akan pertanyaan-pertanyaan yang dulu sering muncul dalam diri saya. Sebuah fragmen hidup telah membuka mata hati ini, jika skenario Tuhan yang begitu indah telah saya lakoni. Ketika menjadi seorang kaum urban disitulah akhirnya saya temukan jawaban. Merantau pada sebuah kota yang sebenarnya adalah tanah kelahiran saya. Megapolitan yang dulu pernah memberi sedikit udaranya untuk paru-paru kecil saya. Sekarang justru menjadi medan berjuang saya mengadu peruntungan. Yah, menyabung nasib sebagai kuli bangunan sekaligus menapak tilas di masa-masa diri ini baru diciptakan.

Di Jakarta itulah saya bertemu dengan seorang perempuan. Wanita paruh baya dengan dua anak yang telah remaja. Seorang perantau sejati yang bertahan hidup sebagai  penjaja warung nasi. Mbak Mia, begitu orang-orang memanggilnya. Namun, saya lebih terbiasa memanggilnya Bulik. Perempuan yang pernah memberikan air susunya sebagai penghilang dahaga tenggorokan saya. Ya Bulik, itulah perempuan yang telah melahirkan saya.

Dulu hampir setiap akhir pekan saya habiskan waktu menginap di rumah kontrakan Bulik. Meski saya rasa itu bukanlah rumah, tapi cuma ruang sempit yang ditinggali Bulik bersama anak-anaknya. Ya, hanya sebuah kamar merangkap dapur dengan furniture berupa ranjang bertingkat plus kompor sebagai penghias ruangannya. Begitu pengap, sangat pengap tak seperti halnya kamar di kampung yang saya punya. Membuat saya berpikir andai saja sejak awal turut serta, mungkin ruang sempit itu makin sempit saja dengan kehadiran saya. Belum lagi ditambah dengan bel dari kereta besi yang lalu lalang tepat di halaman kontrakan. Juga nyamuk-nyamuk yang menyerang secara membabi mata, sungguh tak bisa membuat mata terpejam segera. Seakan semuanya memberi jawaban jika keputusan yang dulu Bulik lakukan, salah satu tujuannya adalah agar saya bisa menikmati tidur dengan nyaman.

Di ruang sempit itu Bulik seringkali mendongeng dengan cerita masa kecil saya. Tentang rumah sakit Cideng, tempat saya dilahirkan. Tentang gubuk-gubuk kumuh yang pernah saya tinggali. Juga tentang kebiasaan saya yang suka melambai-lambaikan tangan ketika rombongan panser pengawal presiden melintas di jalanan. Selebihnya Bulik cuma bercerita tentang betapa susahnya hidup di ibukota. Kesempitan hidup yang memaksa adik-adik saya tak bisa melanjutkan pendidikannya. Ah, lagi-lagi serasa saya menemukan jawaban jika tujuan Bulik  dulu sebenarnya agar saya bisa merasakan pendidikan sebaik-baiknya, meski hanya tamatan SMA.

Pernah di suatu hari saya memberanikan diri bertanya tentang keputusan Bulik ketika saya kecil dulu. Bulik cuma tersenyum dan berkata jika semua itu tak semudah seperti yang saya bayangkan. Beliau merasa jika pilihan terbaik baginya saat itu adalah meninggalkan diri saya. Memberikan bayinya pada Ning yang hingga sekarang menjadi Ibu saya. Bulik yakin jika Ning mampu memberikan segenap kasih sayangnya pada diri saya. Itulah jawaban Bulik.

Ternyata Jakarta tak memberi bintang terang dalam peruntungan nasib saya. Otot-otot saya rasanya sudah tak mampu lagi melakukan pekerjaan sebagai seorang kuli. Mental perantau saya sepertinya tak setangguh Bulik punya. Saya merasa menjadi seorang yang gagal di tanah kelahirannya sendiri. Jadi saya harus segera pulang. Berpisah kembali dengan Bulik dan adik-adik saya. Meski beberapa bulan setelahnya Bulik mengabarkan sebuah lowongan pekerjaan di ibukota, namun saya menolaknya. Saya merasa jika Jakarta bukanlah tempat yang tepat bagi saya. Tapi, di kota kecil inilah medan pertempuran saya hingga menutup mata.

Beberapa tahun kemudian, sebuah kabar duka tiba-tiba datang. Di ujung telpon adik lelaki saya mengabarkan jika Bulik telah berpulang mendahului mereka dan akan dikebumikan di kampung halamannya. Sungguh tak saya sangka kabar duka itu. Rasanya baru kemarin saya masih bersama Bulik. Menemaninya ke pasar induk untuk belanja sayuran yang akan dia dagangkan. Ah, belum lunas pula janjinya untuk mengantar saya ke pantai Ancol untuk berwisata. Ternyata kini Bulik telah tiada.

Sayang, saya tak sempat menatap raut wajah Bulik untuk yang terakhir kalinya. Adat di kampung halamannya mengharuskan segera mengebumikan jasad tanpa perlu menunggu anak-anaknya datang. Di sebuah kampung tandus di daerah Ponorogo, disitulah Bulik dilahirkan dan dikebumikan. Orang-orang sekitar mengatakan jika Bulik adalah salah satu  perantau sejati dari kampung mereka. Seorang perempuan yang tak hanya diam pasrah melihat kering kerontang tanah kelahirannya. Tapi, juga berani mencari sedikit kemakmuran meski jauh dari tanah kelahiran. Sedari muda hingga dia menutup mata, itulah Bulik Mia.

Dari kampung nan gersang itu akhirnya saya pun mendapat jawaban. Tentang alasan Bulik untuk tak memberikan saya pada sanak familinya. Bulik menurut saya adalah seorang yang jenius, sebab bisa memprediksi masa depan yang nanti akan saya hadapi. Saya rasa Bulik tak ingin saya tumbuh menjadi pemuda yang hanya mengerti tentang cara mencangkul tanah kering saja. Mungkin saja Bulik tahu jika saya bukanlah tipe lelaki yang mengandalkan kekuatan fisik  dalam mencari sumber rejekinya.

Di kaki sebuah bukit, disitulah jasad Bulik dikebumikan. Beliau pergi untuk meneruskan perjalanannya sebagai perantau di kehidupan yang lebih hakiki. Terima kasih Bulik untuk masa depan baru yang telah kau berikan. Terima kasih karena telah menganugerahkan aku seorang Ibu bernama Ning. Seorang perempuan yang juga memiliki hati seluas samudera sepertimu.

Ah Bulik, tahu saja pilihan terbaik untuk anaknya....


Komentar

  1. Luar biasa artikelnya Kang, dengan keteladanan seorang yang bertangan dingin hal sekicil apapun yang ditanamkan dengan kebaikan akan memberikan sebuah arti pembelajaran yang berarti untuk kita semua ya....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Matur nuwun Kang.. rajin banget nih BW pagi-pagi hehehe

      Hapus
  2. hiks...! bercerita ttg ibu memang slalu mmbuat siapapun terharu... :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. [im]http://www.reddiseals.com/wp-content/uploads/Paper-wipes1-150x150.png[/im]

      sodorin tisu...

      Hapus
  3. Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan : Hati Ibu Seluas Samudera
    Segera didaftar
    Salam hangat dari Surabaya

    BalasHapus
  4. Pengalaman yang tak semua orang punya

    BalasHapus
    Balasan
    1. dan saya bersyukur menjadi salah satu orang yang memilikinya

      Hapus
  5. Bahagianya punya dua ibu yang begiu hebat nggih mas. Bulik dan Ning, semoga keduanya selalu dicintai Tuhan, aamii

    BalasHapus
  6. Semoga Bulik membaca artikel ini :)
    *terharu bacanya.

    Semua kisah tentang ibu, pastilah ada alasannya.
    gak tau mau ngomong apa lagi... salam buat keluargamu, kang :)

    BalasHapus
  7. Salam hormat untuk cak Lozz dan keluarga.
    Untuk Bulik Mia yang berhati seluas samudera, semoga beliau diberikan surga-Nya.
    Sam, semoga bisa silaturahmi dan ngobrol tentang Ibuk kapan2.

    BalasHapus
  8. Bingung, harus bilang apa...terharu.. Beruntung sekali mempunyai dua orang yang berhati seluas samudera

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau bingung. pegangan tiang mbak Nurul haha

      matur nuwun ya

      Hapus
  9. Uncle, pagi2 udah bikin saya terharu.

    Semoga Bulik mendapatkan tempat yang terbaik dan amal ibadahnya di terima oleh Nya. aamiin

    BalasHapus
  10. Ah, Om Lozz ....
    Tulisan ini tak hny membuat haru akan sosok Bulik yg sempurna menjadi sosok ibu yg teduh,
    Tapi jg bikin sedih krn event ini aq gak apdet imponya. Trnyta penutupannya jam 12 siang (sedangkan pengumuman yg ta simpen DLnya ditutup jam 8 malam.), resiko ikutan lomba di jam2 terakhir.

    Semoga nti bukunya sukses dan menginspirasi utk lbh memuliakan org yg menjalani peran seorang ibu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salahe sopo ketinggalan beritane. Tapi yang jelas enggak berkurang kan mbak Rie, rasa sayang ama Ibu kendati telat daftar hehe

      Hapus
  11. Aku nunggu cerita lengkapnya yang bukan versi kontes ahh..
    :)

    Luar biasa.. Ibu..

    BalasHapus
  12. Kang Lozz...bener-bener bikin mbrebeees...dan aku kangen mamakuuuu sekaraaaang hiks...doaku untuk Bulik Mia dan Ibu Ning...dua perempuan luar biasa dalam hidupmu :)...

    BalasHapus

Posting Komentar

Terima kasih telah membaca artikel dengan cara seksama dan tidak dalam tempo sesingkat-singkatnya